Ganti Rugi Lahan Depot Pertamina Bitung, Dinilai “Jauh Panggang Dari Api”

Bitung, identitasnews.id – Pernyataan kuasa hukum, ahli waris almarhum Martinus Pontoh (dibeberapa media online), “PT Pertamina dituntut segera melakukan ganti rugi pembayaran terhadap sebidang tanah di Kelurahan Bitung Barat, Kecamatan Maesa, Kota Bitung kepada ahli waris almarhum Martinus Pontoh”.

Kuasa hukum ahli waris, Denny Palilingan,SH bersama Muhammad Muzani,SH mengatakan selesainya proses hukum antara para penggugat Helena Pontoh dan kawan-kawan, kemudian dari seluruh para ahli waris almarhum Martinus Pontoh dengan PT Pertamina telah diuraikan dalam putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau Inkracht Van Gewijsde.

“Sesuai putusan pengadilan yang ada, PT Pertamina sebagai pihak termohon untuk segera melaksanakan pembayaran ganti rugi melalui konsinyasi di PN Bitung,”.

Pengamat hukum Sulawesi Utara “Efraim Lengkong” saat dimintakan tanggapan (19/7-2025), tentang pemberitaan terkait ganti rugi PT Pertamina tbk yang mencapai ratusan miliar rupiah, mengatakan; kasus tanah depo Pertamina ini sudah bergulir kurang lebih 30 tahun, belum berakhir.

Dirinya memastikan tuntutan ganti rugi ahli waris berdasarkan putusan “Inkracht Van Gewijsde”, masih “obscuur”, atau samar, juga dapat dikatakan “Uit de buurt van vuur grillen” (Jauh panggang dari api”), kata dia.

Lebih jauh ia mengatakan bahwa memang benar sudah Inkracht Van Gewijsde” (putusan yang berkekuatan hukum tetap) dan itu harus dihormati.

Ditanya wartawan kenapa sudah ada putusan, bapak mengatakan “Jauh panggang dari api” ? .

Pemahaman dari asas “Res judicata pro veritate habetur,” adalah putusan hakim harus dianggap benar.
Meski dalam perkara tersebut diajukan saksi palsu dan hakim memutus perkaranya berdasarkan saksi palsu tersebut, jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus dianggap benar sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi.

“Putusan hakim itu dianggap benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Atau batal apabila ada “perbuatan pidana” dimana hak pemilikan seseorang atau sertifikat tanah setelah diteliti diterbitkan dari keterangan yang dipalsukan, saat ini disebut, “Mafia tanah”.

Lebih jauh Lengkong menambahkan bahwa persoalan tanah yang saat ini diduduki oleh PT Pertamina, “Ibarat penyakit kanker stadium 4 yang sudah menjalar hampir keseluruhan tubuh”, yang sangat berpotensi muncul.

Sebut saja ahli waris dari Nikodemus Sompotan-Sabina Lontoh, mereka mengklaim bahwa tanah di depo Pertamina milik mereka, berdasarkan, ” Eugendom Verponding No: 1888, 1889, 1890 nama Nikodemus Sompotan, diterbitkan di Manado pada tanggal 23 Pebruari 1929, oleh Pengawas Kantor Kadasteran JAN VAN KOOT, HZ. Dan tercatat dalam lembaran negara 1016 No. 4497
Peta termasuk dalam proses Verbal yang berkaitan dengan surat surat keterangan dan surat ukur tertanggal 23 April 1924 No. 3594
Surat Keterangan Teregister Nomor: 01/SK/08/V/2000 Tertanggal 27 Mei tahun 2000.
Register tanah di kelurahan Madidir No. Register: 1 polio 1di buat oleh Lurah Madidir, Kec. Bitung Tengah.

Juga perlu dipertimbangkan ahli waris 6 dotu Tanjung Merah yang merupakan ahli waris dari, “Tumani Kota Bitung” (Pendiri Kota Bitung).
Peta seluas kurang lebih 600 ha dan disahkan oleh 4 Hukum Tua (lurah) yaitu Aertembaga/Pateten/Bitung Tengah dan Bitung Timur tahun 1961. Menjadi dasar dari para ahli waris untuk mendapatkan kembali hak ulayat mereka. Hal ini sudah beberapa kali diuji dan dimenangkan baik di PN sampai di MA.

Kepada wartawan, “Efraim Lengkong” dalam mengatakan, “Yurisprudensi Mahkamah Agung RI”, memiliki Kaidah hukum, bahwa “Sengketa kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah, antar warga negara yang berujung penyelesaian hukum secara litigasi, tidak semuanya didasarkan sertifikat hak atas tanah”.

“Meskipun sebagai bukti kuat, sertifikat hak atas tanah masih terkategori sebagai publikasi negatif, karena tidak mutlak kebenarannya, masih dapat dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum dan dibatalkan pemberlakuannya, guna berikan perlindungan pemegang hak atas tanah sesungguhnya, bilamana dapat membuktikan sebaliknya dari materi yang tertulis di sertifikat hak atas tanah.

Demikian juga dalam sistem publikasi negatif untuk pendaftaran tanah, dilakukan penyelidikan riwayat penguasaan dan kepemilikan atas objek tanah yang didaftarkan, sebelum diterbitkan sertifikat hak atas tanah.

Ketentuan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bukti hak lama yang dapat didaftarkan, untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah, antara lain berupa:

-Grosse akta hak eigendom; Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja. Sertifikat hak milik berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959

-Petuk pajak bumi atau landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan berbagai bukti hak lama lainnya

kedudukan hak-hak lama atas tanah, seperti petuk, yang digunakan sebagai dasar klaim kepemilikan lahan, dalam penyelesaian sengketa pertanahan di pengadilan.

Pertanyaan Apakah pihak yang mengajukan petuk, dinilai sebagai pemilik hak atas tanah sengketa?

Kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 34 K/Sip/1960, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, tanggal 10 Februari 1960. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah menjadi Yurisprudensi MA RI, yang dapat diakses dalam buku Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria, karya Abdurrahman, S.H.

Kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI, menjelaskan petuk pajak bumi, bukanlah termasuk bukti mutlak kepemilikan tanah yang dimiliki orang, yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi dan hanya berupa tanda pembayaran pajak suatu tanah.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bukti hak lama atas suatu tanah, seperti petuk pajak bumi, tidak secara mutatis mutandis sebagai tanda hak atas tanah yang diakui hukum pertanahan, dewasa ini.

Diperlukan pendaftaran tanah, guna dapatkan sertifikat hak atas tanah dan diakui kekuatan pembuktiannya atas penguasaan atau kepemilikan suatu tanah.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 34 K/Sip/1960, yang telah menjadi Yurisprudensi MA, menjadi preseden dan diikuti Putusan Mahkamah Agung RI lainnya, dalam memutus perkara serupa, seperti diduplikasi dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 663 K/Sip/1970.

Tafsir saya, pihak PT Pertamina sebelum membayar ganti rugi sebaiknya mempertimbangkannya. Dikarenakan masih banyak hak- hak lama atas tanah, dijadikan alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah di pengadilan, khususnya petuk tanah menurut kaidah hukum Yurisprudensi Mahkama Agung.

Agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat pada kerugian uang negara yang berujung pada Tindak Pidana Korupsi, kata Efraim Lengkong. (Tim)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *