BOLMUT, Identitasnews.Id – Polemik aktivitas pertambangan di kawasan hutan Bintauna kembali mencuat setelah sebuah unggahan disampaikan oleh Koordinator Gerakan Inomasa Menggugat (GIM), Asriadi Lakoro, melalui akun media sosial Facebook pribadinya pada Sabtu malam (05/07).
Dalam unggahan tersebut, Asriadi menegaskan perlunya membedakan secara tegas antara izin eksplorasi pertambangan dengan izin koperasi, sembari mempertanyakan legalitas ribuan hektar lahan yang saat ini disebut-sebut akan digarap.
“Kase beda izin explorasi Pertambangan dengan izin Koperasi, ribuan hektar yg mo digarap atas izin siapa? Proses WPR itu mo di ajukan tetap harus berdasarkan usulan Bupati ke Gubernur kemudian ke menteri ESDM. Nanti bila disetujui menteri ESDM baru ada penunjukan koperasi pengelola. Stop ba akal masyarakat kecil.” tulis Asriadi dalam pernyataannya.
Unggahan tersebut sampai dengan Minggu, (06/07) telah mendapat sebanyak 28 tanggapan dan 23 komentar dari netizen. Berbagai komentar netizenpun turut meramaikan postingan tersebut diantaranya akun @Bonya Andalan “Baku baku akal joo asal kompak😄🙏🏾,” tulisnya.
Unggahan ini mempertegas sikap GIM yang sejak awal menolak segala bentuk aktivitas pertambangan ilegal di kawasan lindung, terlebih yang menggunakan alat berat seperti escavator. GIM juga sebelumnya telah melaporkan kasus ini ke Polres Bolmut sejak Juli Tahun 2024 lalu, namun hingga kini belum ada kejelasan penyelesaian.
Sementara itu, berdasarkan penelusuran di lapangan, aktivitas tambang dengan escavator di hutan Bintauna masih terus berlangsung. meskipun Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow Utara (Pemda Bolmut) telah menyatakan penutupan kegiatan tersebut melalui surat pemberitahuan tentang (Pemberhentian kegiatan pertambangan di desa Huntuk Kecamatan Bintauna tertanggal 19 Agustus 2024).
Bahkan, Polres Bolmut beberapa waktu lalu telah memasang baliho larangan aktivitas tambang di sejumlah titik, namun tindakan tersebut tampaknya hanya bersifat formalitas tanpa pengawasan berkelanjutan di lapangan.
GIM mendesak agar seluruh proses legalisasi WPR dilakukan secara transparan dan berlandaskan hukum yang berlaku, bukan melalui pengakuan sepihak atau manipulasi administratif demi kepentingan segelintir pihak. Menurut GIM, wilayah hutan dan sumber daya alam di Bintauna adalah aset kolektif masyarakat adat dan harus dijaga keberlanjutannya.
(Fadlan)