Oleh, Efraim Lengkong (Ketua Pelayanan Lansia (KPL) GMIM Karunia. Waka KPL Wilayah Malalayang Timur)
MANADO, identitasNews.id – Robert Neelly Bellah, “sosiolog Amerika” mengaktualisasikan, Ibadah puasa akan terbentuk “the good society,” masyarakat yang damai tanpa kekerasan dan penuh dengan nuansa “spiritual-religius”.
Rasulullah bersabda: Sekiranya umatku mengetahui apa saja yang ada dalam Ramadhan, niscaya mereka akan berharap satu tahun penuh menjadi Ramadhan.”
Penegasan al-Qur’an di atas menunjukkan betapa puasa juga telah menjadi amalan ibadah umat terdahulu.
Kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan dalam hal politik, sebelum dan sesudah pemilu/pilpres, terlebih oknum oknum “maha guru, budayawan, elit politik, purnawirawan jenderal”
wajib hukumnya untuk “menghormati bulan Ramadhan” dengan tidak melakukan “demo, ujaran kebencian (hate speech), fitnah apalagi menghasut untuk melakukan pemakzulan, dengan alasan untuk memenuhi hak demokrasi rakyat.
Bulan Ramadhan menjadi spesial karena di bulan ini orang-orang mukmin dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
“Umat” Kristen diajarkan untuk berpuasa. Dalam Injil Matius 6 diceritakan saat khotbah di bukit, Yesus Kristus mengajarkan umatnya tiga kewajiban umat Kristen yaitu “bersedekah, berdoa, dan berpuasa”.
Puasa diletakkan sebagai ibadah universal,
yang secara nyata dilakukan/dijalankan oleh agama-agama lain. Ibadah puasa tidak hanya menjadi milik agama ‘Samawi’, Hindu dan Budha pun memiliki ibadah puasa untuk sarana atau persiapan melakukan ibadah ritual; mendekatkan diri kepada Tuhan.
“PESAN DAMAI DALAM PUASA”
Pertikaian pasca pilpres yang mengatasnamakan rakyat, demokrasi, konstitusi, agama, etnik, telah “mengkhianati” perintah Allah.
Rasa damai seakan tidak terasakan lagi sekarang ini, akibat perilaku umat manusia yang suka berbuat kerusakan dan pertikaian, apalagi dengan hadirnya amarah, dengki, fitnah dengan melupakan bahwa saat ini adalah bulan suci, bulan puasa.
Ajaran Islam tentang puasa, selain mengajarkan untuk menahan haus dan lapar juga mengajarkan hamba-hamba Allah agar menahan diri dari kebencian, kedengkian dan kemungkaran antar sesama umat manusia.
Rasulullah mengajarkan puasa sebagai amanah bagi umat Islam untuk dikerjakan sepenuh hatinya. Karena itu, puasa sebagai amanah mesti dimaknai sebagai tanggungjawab untuk membentuk masyarakat Muslim yang taat, salih, dan mengajak perdamaian.
Visi perdamaian dalam ibadah puasa menuntut kita untuk menghindari sikap permusuhan. Islam sendiri secara otentik bisa dimaknai sebagai agama perdamaian. Kata “al-Islam” atau “as-salam” artinya adalah damai. Bahkan, dalam fiqih pun; ada istilah, al-salam yang merujuk pada makna “wilayah damai”. Inilah Islam secara otentik, yang memang secara substansial bermakna perdamaian, di samping makna penyerahan atau ketundukan diri.
Karena itu, pesan aktual puasa adalah menciptakan perdamaian sejati dalam bingkai agama, dan bukannya memperbanyak perselisihan, pertikaian dan peperangan. Ajaran agama-agama yang secara substantif dimaknai sebagai jalan menuju kedamaian seakan dilupakan. Padahal, ibadah puasa telah menjadi tradisi agama-agama yang dipersiapkan sebagai latihan menuju jalan yang damai.(*)