Oleh: Efraim Lengkong, Pengamat Hukum dan Sosial Masyarakat
Manado, identitasnews.id – Di tengah gegap gempita slogan transformasi Polri yang digadang Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan akronim PREdiktif, “
responsibilitas” dan “transparansi”, berkeadilan, publik justru merasakan getir.
Janji pelayanan publik yang mudah, cepat, dan akuntabel dinilai tak lebih dari lip service.
Masyarakat masih berhadapan dengan wajah lama: birokrasi bertele-tele, penyidikan yang lamban, dan aroma ketidakadilan yang pekat.
Ketidakadaan sistem keamanan nasional membuat Polri tampil terlalu dominan.
Dominasi ini memunculkan teriakan keras dari masyarakat: reformasi Polri harus segera dilakukan.
Presiden Prabowo merespons dengan Keppres 122/2025, membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) yang diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie.
Tugasnya jelas mengkaji dan merekomendasikan perbaikan fundamental, termasuk revisi UU Polri. Namun, kepekaan Polri membaca situasi publik dinilai tumpul.
Sementara itu, perubahan atas UU Kejaksaan memperkuat kewenangan jaksa dalam penyidikan tipikor, aset tanah, tambang, hingga BBM bersubsidi. Masyarakat kini bisa melaporkan mafia tanah ke Satgas Kejaksaan.
Bukankah ini tanda awal pemasungan kewenangan penyidik Polri, yang dianggap arogan dan tidak adil?
Dr. Michael Barama, dosen senior Fakultas Hukum Unsrat, menyindir proses penyidikan Polri ibarat pintu air, buka tutup, tutup buka.
Ia lelah mengajarkan integritas selama tiga dekade sayangnya, begitu mantan mahasiswanya menjadi penegak hukum, mereka bertanya bukan soal materi perkara, melainkan nominal dari laporan. Fenomena ini menjadi nestapa bagi rakyat kecil.
Syair Grup Band Sukatani menggema “Bayar-bayar-bayar… Mau korupsi, bayar polisi. Mau gusur rumah, bayar polisi. Mau jadi polisi, bayar polisi…”
Komjen Dedi Prasetyo bahkan mengakui masyarakat lebih memilih menghubungi pemadam kebakaran ketimbang polisi, karena respon cepat Polri begitu lamban. Pernyataan Komjen Pol (Purn) Dharma Pongrekun menambah ironi “Dharma itu mengabdi kepada Tuhan, bukan kepada atasan.”
Tafsirnya jelas, integritas sering dikalahkan oleh like and dislike pimpinan.
Dalam wawancara eksklusif Tribun Network, Yusril Ihza Mahendra menyoroti integritas sebagai masalah utama.
“Orang minta dilindungi, minta diayomi, tapi pengayomannya tidak cukup. Bahkan lebih ekstrem, hilang kambing, laporan polisi malah jadi hilang sapi,” ungkapnya.
Kritik publik semakin tajam penegakan hukum dirasakan tidak adil, seolah mencari-cari kesalahan.
Ironisnya, banyak polisi berintegritas justru kandas di posisi menengah.
Calon jenderal yang mumpuni terhenti di pangkat AKBP karena dianggap hanya mengabdi pada negara, bukan pada pimpinan. Sistem kepangkatan yang timpang ini memperlihatkan betapa integritas sering menjadi penghalang karier.
Bangsa ini tak boleh terus terjebak dalam nestapa ketidakadilan.
Reformasi Polri bukan sekadar slogan, melainkan mandat moral untuk membangun institusi yang profesional, transparan, dan akuntabel. Jika tidak, kewenangan penyidik bisa saja dialihkan ke institusi lain.
Saat ini, 19 Desember 2025 Komite Reformasi Polri mulai memasuki tahap pengambilan keputusan. Rakyat berharap agar pembenahan kelembagaan dan regulasi kepolisian dapat dilakukan secara komprehensif, selaras, dan berkelanjutan, menjadi hadiah terindah di Tahun Baru 2026.
Nukilan Ikonik Soekarno :
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Hari ini, gema itu bergema kembali dalam konteks hukum. Berikan seribu polisi yang baik dan sepuluh hakim yang jujur, maka keadilan akan tegak di bumi Nusantara. (redaksi)




























