JIKA INGIN DAMAI, BERSIAPLAH UNTUK PERANG

Efraim Lengkong.

Peribahasa “Si vis pacem para bellum” (Latin) ini sudah ada sejak di zaman Plato (347 SM)

Dalam bukunya yang mengeksplorasi sejarah kritik sastra dan pemikiran politik Barat di saat itu tertuang dalam buku “The Great Politik”
Dan menjadikan dirinya menjadi “Plato to the present”.
Dimana pemikiran pendapat dipakai atau digunakan sampai saat ini.

Makna dari “qui desiderat pacem, bellum praeparat“ secara harfiah diartikan “Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang“.

“Si vis pacem, para bellum” secara leksikal berlaku atau dapat diartikan luas, seperti dalam organisasi, bisnis, hukum dan keadilan.

Kedamaian dalam kehidupan sehari-hari diperlukan dan jika kamu menginginkan kedamaian, dalam kehidupan bersiaplah untuk perang.”

Dalam suatu negara ada kelompok yang dominan yaitu militer dan polisi. Kelompok ini yang menjaga keamanan dan kedamaian.

Sejatinya, konteks dan perspektif dari, “Si vis pacem, para bellum” hanya dilihat pada sisi makna yang terkandung secara leksikal bahwa perdamaian yang sejati dan tenteram dalam suatu negara hanya dapat dicapai melalui kekuatan militer dan polisi.

Ahli psikologi Austria “Sigmund Freud” (1856 – 1939) keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi.

Menurut Freud, kehidupan jiwa manusia memiliki tiga tingkatan kesadaran, yaitu sadar, pra sadar, dan tak- sadar

Dalam hati manusia ada “fill love and dead” (ada rasa mencintai dan ada rasa untuk mematikan). Kedua lobos hati yang diisi love and dead ada “inpless” (relung) yang paling dalam dan suci tempat kata hati yang diisi roh, yang berbisik untuk mengendalikan kedua rasa cinta dan benci.
Baik atau tidak yang akan kita perbuat.

Tak kalah hati kecil dipenuhi uang dan berbisik pada hati yang diisi, “rasa cinta dan benci”, maka kedua rasa ini akan menjadi “tak sadar” dan berhianat dan melakukan perbuatan yang tidak sesuai seperti membenci, pungli, suap, korupsi dan lain sebagainya yang bertentangan dengan rasa keadilan dan berkepatutan.

Hal-hal seperti ini pernah terjadi pada Raja Daud, “Konteks Daud dan Batsyeba”
2 Samuel 11:1–12:25
Hati Daud saat melihat kecantikan Batsyeba, diisi dengan keinginan untuk memiliki keelokan tubuh Batsyeba membuat Jiwa Daud “tak sadar”

Daud berdamai dengan dengan cara berperang dari rasa malu untuk mengakui dosa kepada Tuhan Allah.

Mazmur 32 : 5
Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.

Penggunaan kata “mengaku” (Ibr: ‘odi`aka) artinya “tidak menutupi, membuat diketahui”, menggambarkan sikap keterbukaan yang penuh.

Pengakuan yang memerdekakan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam keluarga. Orang tua dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak untuk mengakui kesalahan tanpa rasa takut terhadap hukuman yang berlebihan dengan membangun kejujuran dan integritas sejak dini.

Dalam lingkungan kerja, pemimpin dapat mendorong budaya menghargai keterbukaan dan mengakui kesalahan sebagai pembelajaran untuk menjadi lebih baik.

Dengan menerapkan prinsip pengakuan yang memerdekakan ini, kita tidak hanya menemukan kebebasan pribadi, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang lebih jujur, empatik dan penuh memberian diri, berkeadilan dan berkepatutan. (*)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *